Minggu, 23 Mei 2010

Tanggung Jawab Ilmuan


Etika dan tanggung jawab Ilmu Pengetahuan
            Perkembangan ilmu pengetahuan telah berhasil menyediakan segala kebutuhan hidup sehari-hari manusia dan mendorong pergeseran moralitas dan kehidupan manusia. Kondisi yang demikian diiringi dengan perkembangan mentalitas dan sikap manusia yang makin materialistis. Cukup sandang pangan bukan lagi menjadi arah kegiatan untuk mencapai kebahagiaan hidup, tetapi arah tersebut telah bergeser untuk mengumpulkan kekayaan dan harta sebanyak-banyaknya. Kebahagiaan manusia telah berubah menjadi berlimpahnya barang nyata yang berupa limpahan materi.
            Manusia memang berperawakan labil, sehingga dengan adanya kemajuan teknologi, manusia mengalihkan perannya dari “alat hidup” menjadi “tujuan hidup”. Harta (uang) menjadi segala-galanya bagi manusia. Bahkan tak jarang manusia terseret dalam keampuhannya, sehingga tingkah laku tamak, serakah, zalim dan sebagianya mewarnai jiwa setiap manusia. Kecenderungan ilmu pengetahuan yang tidak lagi sesuai dengan arti dan fungsinya tersebut, lebih dijunjung sebagai pengangkat “Dewa” martabat dan derajat pribadi manusia.
            Kondisi ini diperparah dengan kemajuan dunia yang memasuki era modernisasi dan globalisasi, yang mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat. Kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam suatu belahan dunia, dalam hitungan detik dapat diketahui di belahan dunia lain dalam hitungan detik pula. Pengaruh gebyarnya kehidupan dapat memasuki ranah kehidupan wilayah lain dengan cepat dan tanpa ada sekat yang menghalangi. Globalisasi yang berorientasi pada kehidupan materialistis telah mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Hal ini telah mendorong manusia untuk semakin mantap dalam mencapai “tujuan” hidup dengan mengumpulkan dan memanifestasikan kekayaan sebagai “tujuan” hidup. Manifestasi kehidupan tersebut antara lain ditandai dengan munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, dimana prinsip-prinsip etika trading kuno telah dilepaskan yang ditandai dengan munculnya korporasi-korporasi multinasional.
            Salah satu contoh adalah berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misalnya). Organisasi tersebut mampu memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi yang memapankan industri media). Munculnya homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan label. Dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan ilmu pengetahuan manusia di dunia. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah munculnya pola-pola baru dalam beragam bentuk dan tatanannya. Corak-corak baru yang demikian kerap disebut sebagai era pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan masyarakat yang demikian memiliki konsekuensi logis pada situasi yang menggiring kita sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat, praktis dan pragmatis.

Tanggung jawab ilmuwan sosial
            Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-baiknya.
            Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan pendapat, yaitu : Golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo. Golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.
            Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
- Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dus perag dunia yang mempergunakan teknologi keilmuwan.
- Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan.
- Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik pembuatan social.
            Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan sertamasalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
            Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
            Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
            Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
            Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
            Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
            Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalagunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Intelektual dan Keilmuan          
            Kalau seorang ilmuwan berkutat hanya pada bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya, dan yang karenanya terkesan sangat
terspesialisasi, tinggi dan tidak mengakar pada realitas sosial-budaya masyarakat dimana ia berada; saya rasa itulah ilmuwan yang benar. Tugas dan tanggung-jawab seorang ilmuwan pada hakekatnya adalah mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya.
            Ada pun tugas untuk menerapkan atau membumikan ilmu pengetahuan itu agar bermanfaat bagi orang banyak, adalah tanggung jawab orang lain. Ia bisa menjadi tugas seorang teknolog, birokrat, atau–kalau mereka punyak “otak”–politisi.
            Kalau seorang ilmuwan–disamping tugas dan tanggung jawabnya mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya–menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada, maka itulah yang kita namakan intelektual.
            Andrei Sakharov–ilmuwan fisika Rusia–yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia di Uni Soviet, adalah seorang intelektual. Dr. T. Yacob–ilmuwan antropologi ragawi–yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah kebudayaan di Indonesia, adalah seorang intelektual.
            Ada ilmuwan yang bisa dikategorikan sebagai intelektual. Tapi tidak semua ilmuwan–dan memang tidak harus–dikategorikan sebagai intelektual.
            Intelektual adalah seseorang yang menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada. Disini perlu diberi penekanan terhadap kata “tulus”, karena tidak semua orang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat boleh dikategorikan sebagai intelektual.

Tanggung jawab ilmuwan Muslim
1 Banyak ilmuwan muslim (terutama dalam hal ini yang akan dibahas adalah berkaitan dengan ilmuwan muslim di bidang sosial) yang tidak memiliki komitmen terhadap agama Islam.
            Ilmuwan tersebut menghabiskan hari-harinya dan bahkan hidupnya untuk mempelajari dan mengkaji ilmu yang disenangi, menarik hati dan mungkin pula memperoleh ketenaran serta mendapatkan bnyak uang, tapi tidak berminat atau kurang sekali minatnya untuk mengkaji Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang berkaitan dengan ilmu yang digelutinya. Dalam sepekan belum tentu ada satu atau dua jam waktunya diperuntukkan untuk menelaah Islam, yang seharusnya menjadi pedoman hidupnya.
            Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika mendapati ayat-ayat Al-Quran atau Hadits yang tidak sesuai dengan jalan pikiran atau ilmu yang dikuasai, maka ayat dan hadits tersebut ditolak atau paling tidak diragukan kebenarannya. Sebaliknya, paham atau konsep yang jelas-jelas bertentangan dan tidak dapat dibandingkan dengan Islam seperti feminisme, sekularisme, humanisme, liberalisme, postmodernisme, pluralisme dsb. malah dicari-carikan pembenaran dan dukungan dari agama Islam.

2. Banyak ilmuwan muslim yang berpikir dengan metode/cara berpikir orang barat yang kafir.
            Mereka memisahkan antara agama dan akhirat, antara ilmu dan perilaku, antara ilmu dan etika, antara agama dan ilmu, antara individu dan masyarakat nantara agama dengan sosial atau negara. Hal ini disebabkan karena mereka asal ikut saja terhadap pendapat yang dikatakan oleh pakar dari barat. Akibatnya mereka tidak akan dapat melebihi orang barat. Mereka akan selalu tergantung dengan barat serta pola berpikirnya. Apa-apa yang tidak sesuai dengan cara berpikir orang barat akan dikritik, diragukan atau bahkan ditolak.

3. Banyak ilmuwan yang tidak paham sejarah barat dan sejarah pemikiran orang-orang besar.

            Semestinya orang yang belajar sains sosial memahami mengapa timbul teori atau ide dari para ahli sosial zaman dahulu sejak zaman Yunani, zaman Renaissance sampai sekarang. Ingat bahwa pendapat sesorang pasti berkaitan dengan:

- Teologi agama Kristen di Barat
- Peran gereja di masyarakat pada masa itu
- Perang antar negara
- Kolonialisme
- Kebutuhan sosial masyarakat pada masa itu.

4. Karena tidak paham sejarah barat, banyak ilmuwan yang terjebak cara berpikir orang barat.

            Misalnya, banyak orang amat menyukai atau positivisme, reduksionisme, behaviorisme. Sebaliknya ada juga yang amat tidak suka dengan positivisme, sebagai gantinya mereka menganut hermeneutika atau kontruktivisme dll, sehingga semuanya dianggap relatif, tidak ada kebenaran absolut, bahkan manusia tidak mungkin memahami kebenaran atau kebenaran itu sendiri tidak ada. Namun mereka tidak paham mengapa timbul aliran-aliran tersebut dan latar belakang aliran pemikiran tersebut. Paham seperti humanisme, relativisme, pluralisme inklusivisme, liberalisme, demokrasi, HAM, feminisme, post-modernisme, sinkretisme dsb. telah menjadi anutan dan patokan mereka. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian ilmuwan muslim tidak menyadari pola pikirnya telah terjebak dan tersumbat dengan paham-paham sesat dari barat tersebut.

5. Banyak ilmuwan muslim tidak paham konsep pandangan dunia (worldview), asumsi hakikat                                    manusia maupun nilai-nilai sosial budaya barat.

            Nilai-nilai sosial budaya barat itu sendiri meliputi: tujuan hidup manusia, apa yang disebut manusia sukses, berguna dan baik, apa yang disebut masyarakat yang baik, dsb. Hal ini menyebabkan mereka hanya mengekor saja apa yang dikatakan atau ditulis orang barat. Banyak orang terpesona dan terkagum-kagum dengan "kemajuan" barat. Barat dianggap identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, pendidikan, kesehatran, kebebasan dan demokrasi.
            Namun jangan lupa, untuk meraih itu semua, barat harus menguras habis sumber daya yang dimiliki masyarakat lain sejak zaman dulu (kolonial) hingga sekarang, dengan perusahaan multi nasional (MNC) nya. Disamping itu, problem internal masyarakat barat semakin akut dan kronis. Meningkatnya jumlah orang yang depresi, stres, bunuh diri, pembunuhan, perampokan, pnyalahgunaan obat-obatan, pemerkosaan, perceraian, anak lahir di luar nikah, gay, lesbian dan semua penyakit sosial lain yang mengarah pada kehancuran peradaban dan masyarakat baat itu sendiri. Gereja-gereja semakin ditinggalkan, beralih pada fan lun gong, new age, spiritualisme, aliran pemuja setan, sinkretisme serta menciptakan agama-agama baru sesuai selera mereka sendiri.

6. Akhirnya banyak ilmuwan muslim yang tidak peduli apakah ilmu yang digelutinya ini benar/salah, sesuai dengan ajaran Islam/tidak.
            Menurut metode pendidikan model barat, tidak layak seorang ilmuwan memberikan penilaian benar atau salah terhadap apa yang dipelajarinya. Ilmuwan hanya menjelaskan fenomena yang terjadi atau konsep dan teori yang ada atau melakukan tinjauan kritis terhadapnya dan kemudian bila mampu, membangun pendapatnya sendiri. Namun tentang standar mana yang benar atau salah tergantung darimana menentukannya. Tidak ada kebenaran absolut. Apa yang dianggap benar dan baik pada suatu saat, dapat dianggap salah dan tidak baik di saat yang lain. Oleh karena itu, ilmuwan muslim yang mengikuti pola pikir ilmuwan barat tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa seharusnya mereka memberikan penilaian dengan menggunakan standar atau patokan agama Islam, mana yang benar dan yang mana yang salah. Ilmuwan muslim harusnya memberikan penerangan kepada semua orang tentang apa yang benar dan apa yang salah dan selalu berusaha melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
            Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.
            Adapun salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknlogi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelaktual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu kan berdiri dengan kukuh. Berdirinya piral penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab social seorang ilmuan. Kita tidak bisa lari padanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.


Etika dan tanggung jawab Ilmu Pengetahuan
            Perkembangan ilmu pengetahuan telah berhasil menyediakan segala kebutuhan hidup sehari-hari manusia dan mendorong pergeseran moralitas dan kehidupan manusia. Kondisi yang demikian diiringi dengan perkembangan mentalitas dan sikap manusia yang makin materialistis. Cukup sandang pangan bukan lagi menjadi arah kegiatan untuk mencapai kebahagiaan hidup, tetapi arah tersebut telah bergeser untuk mengumpulkan kekayaan dan harta sebanyak-banyaknya. Kebahagiaan manusia telah berubah menjadi berlimpahnya barang nyata yang berupa limpahan materi.
            Manusia memang berperawakan labil, sehingga dengan adanya kemajuan teknologi, manusia mengalihkan perannya dari “alat hidup” menjadi “tujuan hidup”. Harta (uang) menjadi segala-galanya bagi manusia. Bahkan tak jarang manusia terseret dalam keampuhannya, sehingga tingkah laku tamak, serakah, zalim dan sebagianya mewarnai jiwa setiap manusia. Kecenderungan ilmu pengetahuan yang tidak lagi sesuai dengan arti dan fungsinya tersebut, lebih dijunjung sebagai pengangkat “Dewa” martabat dan derajat pribadi manusia.
            Kondisi ini diperparah dengan kemajuan dunia yang memasuki era modernisasi dan globalisasi, yang mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat. Kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam suatu belahan dunia, dalam hitungan detik dapat diketahui di belahan dunia lain dalam hitungan detik pula. Pengaruh gebyarnya kehidupan dapat memasuki ranah kehidupan wilayah lain dengan cepat dan tanpa ada sekat yang menghalangi. Globalisasi yang berorientasi pada kehidupan materialistis telah mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Hal ini telah mendorong manusia untuk semakin mantap dalam mencapai “tujuan” hidup dengan mengumpulkan dan memanifestasikan kekayaan sebagai “tujuan” hidup. Manifestasi kehidupan tersebut antara lain ditandai dengan munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, dimana prinsip-prinsip etika trading kuno telah dilepaskan yang ditandai dengan munculnya korporasi-korporasi multinasional.
            Salah satu contoh adalah berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misalnya). Organisasi tersebut mampu memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi yang memapankan industri media). Munculnya homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan label. Dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan ilmu pengetahuan manusia di dunia. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah munculnya pola-pola baru dalam beragam bentuk dan tatanannya. Corak-corak baru yang demikian kerap disebut sebagai era pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan masyarakat yang demikian memiliki konsekuensi logis pada situasi yang menggiring kita sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat, praktis dan pragmatis.

Tanggung jawab ilmuwan sosial
            Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-baiknya.
            Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan pendapat, yaitu : Golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo. Golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.
            Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
- Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dus perag dunia yang mempergunakan teknologi keilmuwan.
- Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan.
- Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik pembuatan social.
            Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan sertamasalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
            Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
            Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
            Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
            Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
            Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
            Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalagunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Intelektual dan Keilmuan          
            Kalau seorang ilmuwan berkutat hanya pada bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya, dan yang karenanya terkesan sangat
terspesialisasi, tinggi dan tidak mengakar pada realitas sosial-budaya masyarakat dimana ia berada; saya rasa itulah ilmuwan yang benar. Tugas dan tanggung-jawab seorang ilmuwan pada hakekatnya adalah mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya.
            Ada pun tugas untuk menerapkan atau membumikan ilmu pengetahuan itu agar bermanfaat bagi orang banyak, adalah tanggung jawab orang lain. Ia bisa menjadi tugas seorang teknolog, birokrat, atau–kalau mereka punyak “otak”–politisi.
            Kalau seorang ilmuwan–disamping tugas dan tanggung jawabnya mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya–menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada, maka itulah yang kita namakan intelektual.
            Andrei Sakharov–ilmuwan fisika Rusia–yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia di Uni Soviet, adalah seorang intelektual. Dr. T. Yacob–ilmuwan antropologi ragawi–yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah kebudayaan di Indonesia, adalah seorang intelektual.
            Ada ilmuwan yang bisa dikategorikan sebagai intelektual. Tapi tidak semua ilmuwan–dan memang tidak harus–dikategorikan sebagai intelektual.
            Intelektual adalah seseorang yang menaruh perhatian yang tulus, mendalam dan luas terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat dimana ia berada. Disini perlu diberi penekanan terhadap kata “tulus”, karena tidak semua orang yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial-budaya masyarakat boleh dikategorikan sebagai intelektual.

Tanggung jawab ilmuwan Muslim
1 Banyak ilmuwan muslim (terutama dalam hal ini yang akan dibahas adalah berkaitan dengan ilmuwan muslim di bidang sosial) yang tidak memiliki komitmen terhadap agama Islam.
            Ilmuwan tersebut menghabiskan hari-harinya dan bahkan hidupnya untuk mempelajari dan mengkaji ilmu yang disenangi, menarik hati dan mungkin pula memperoleh ketenaran serta mendapatkan bnyak uang, tapi tidak berminat atau kurang sekali minatnya untuk mengkaji Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang berkaitan dengan ilmu yang digelutinya. Dalam sepekan belum tentu ada satu atau dua jam waktunya diperuntukkan untuk menelaah Islam, yang seharusnya menjadi pedoman hidupnya.
            Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika mendapati ayat-ayat Al-Quran atau Hadits yang tidak sesuai dengan jalan pikiran atau ilmu yang dikuasai, maka ayat dan hadits tersebut ditolak atau paling tidak diragukan kebenarannya. Sebaliknya, paham atau konsep yang jelas-jelas bertentangan dan tidak dapat dibandingkan dengan Islam seperti feminisme, sekularisme, humanisme, liberalisme, postmodernisme, pluralisme dsb. malah dicari-carikan pembenaran dan dukungan dari agama Islam.

2. Banyak ilmuwan muslim yang berpikir dengan metode/cara berpikir orang barat yang kafir.
            Mereka memisahkan antara agama dan akhirat, antara ilmu dan perilaku, antara ilmu dan etika, antara agama dan ilmu, antara individu dan masyarakat nantara agama dengan sosial atau negara. Hal ini disebabkan karena mereka asal ikut saja terhadap pendapat yang dikatakan oleh pakar dari barat. Akibatnya mereka tidak akan dapat melebihi orang barat. Mereka akan selalu tergantung dengan barat serta pola berpikirnya. Apa-apa yang tidak sesuai dengan cara berpikir orang barat akan dikritik, diragukan atau bahkan ditolak.

3. Banyak ilmuwan yang tidak paham sejarah barat dan sejarah pemikiran orang-orang besar.

            Semestinya orang yang belajar sains sosial memahami mengapa timbul teori atau ide dari para ahli sosial zaman dahulu sejak zaman Yunani, zaman Renaissance sampai sekarang. Ingat bahwa pendapat sesorang pasti berkaitan dengan:

- Teologi agama Kristen di Barat
- Peran gereja di masyarakat pada masa itu
- Perang antar negara
- Kolonialisme
- Kebutuhan sosial masyarakat pada masa itu.

4. Karena tidak paham sejarah barat, banyak ilmuwan yang terjebak cara berpikir orang barat.

            Misalnya, banyak orang amat menyukai atau positivisme, reduksionisme, behaviorisme. Sebaliknya ada juga yang amat tidak suka dengan positivisme, sebagai gantinya mereka menganut hermeneutika atau kontruktivisme dll, sehingga semuanya dianggap relatif, tidak ada kebenaran absolut, bahkan manusia tidak mungkin memahami kebenaran atau kebenaran itu sendiri tidak ada. Namun mereka tidak paham mengapa timbul aliran-aliran tersebut dan latar belakang aliran pemikiran tersebut. Paham seperti humanisme, relativisme, pluralisme inklusivisme, liberalisme, demokrasi, HAM, feminisme, post-modernisme, sinkretisme dsb. telah menjadi anutan dan patokan mereka. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian ilmuwan muslim tidak menyadari pola pikirnya telah terjebak dan tersumbat dengan paham-paham sesat dari barat tersebut.

5. Banyak ilmuwan muslim tidak paham konsep pandangan dunia (worldview), asumsi hakikat                                    manusia maupun nilai-nilai sosial budaya barat.

            Nilai-nilai sosial budaya barat itu sendiri meliputi: tujuan hidup manusia, apa yang disebut manusia sukses, berguna dan baik, apa yang disebut masyarakat yang baik, dsb. Hal ini menyebabkan mereka hanya mengekor saja apa yang dikatakan atau ditulis orang barat. Banyak orang terpesona dan terkagum-kagum dengan "kemajuan" barat. Barat dianggap identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, pendidikan, kesehatran, kebebasan dan demokrasi.
            Namun jangan lupa, untuk meraih itu semua, barat harus menguras habis sumber daya yang dimiliki masyarakat lain sejak zaman dulu (kolonial) hingga sekarang, dengan perusahaan multi nasional (MNC) nya. Disamping itu, problem internal masyarakat barat semakin akut dan kronis. Meningkatnya jumlah orang yang depresi, stres, bunuh diri, pembunuhan, perampokan, pnyalahgunaan obat-obatan, pemerkosaan, perceraian, anak lahir di luar nikah, gay, lesbian dan semua penyakit sosial lain yang mengarah pada kehancuran peradaban dan masyarakat baat itu sendiri. Gereja-gereja semakin ditinggalkan, beralih pada fan lun gong, new age, spiritualisme, aliran pemuja setan, sinkretisme serta menciptakan agama-agama baru sesuai selera mereka sendiri.

6. Akhirnya banyak ilmuwan muslim yang tidak peduli apakah ilmu yang digelutinya ini benar/salah, sesuai dengan ajaran Islam/tidak.
            Menurut metode pendidikan model barat, tidak layak seorang ilmuwan memberikan penilaian benar atau salah terhadap apa yang dipelajarinya. Ilmuwan hanya menjelaskan fenomena yang terjadi atau konsep dan teori yang ada atau melakukan tinjauan kritis terhadapnya dan kemudian bila mampu, membangun pendapatnya sendiri. Namun tentang standar mana yang benar atau salah tergantung darimana menentukannya. Tidak ada kebenaran absolut. Apa yang dianggap benar dan baik pada suatu saat, dapat dianggap salah dan tidak baik di saat yang lain. Oleh karena itu, ilmuwan muslim yang mengikuti pola pikir ilmuwan barat tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa seharusnya mereka memberikan penilaian dengan menggunakan standar atau patokan agama Islam, mana yang benar dan yang mana yang salah. Ilmuwan muslim harusnya memberikan penerangan kepada semua orang tentang apa yang benar dan apa yang salah dan selalu berusaha melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
            Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.
            Adapun salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknlogi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelaktual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu kan berdiri dengan kukuh. Berdirinya piral penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab social seorang ilmuan. Kita tidak bisa lari padanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.






















































Manusia Dan Pandangan Hidup


PENGERTIAN PANDANGAN HIDUP

Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan di dalam masyarakat. Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup. Cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup itu tak dapat dipisahkan dengan kehidupan. Dalam kehidupannya  manusia tidak dapat melepaskan diri dari cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup itu.
            System nilai budaya sering juga merupakan pandangan hidup bagi manusia yang menganutnya. Apabila system nilai merupakan pandangan hidup yang dianut olah sebagian besar warga masyarakat, maka pandangan hidup merupakan suatu system pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau lebih sempit lagi, oleh individu-individu khusus dalam masyarakat. Oleh karena itu hanya ada pandangan hidup golongan atau individu tertentu, tetapi tak ada pandangan hidup seluruh masyarakat.

2. CITA-CITA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut cita-cita adalah keinginan, harapan, dan tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Keinginan, harapan, maupun tujuan tersebut merupakan orientasi yang ingin diperoleh seseorang pada masa mendatang.
Dapat atau tidaknya seseorang mencapai apa yang dicita-citakannya, hal itu tergantung atas tiga faktor, antara lain:
a.   Faktor Manusia
Untuk mencapai cita-cita, faktor yang paling menentukan adalah manusianya sendiri, terutama kualitasnya, karena manusia tanpa dilengkapi kemampuan tidak akan pernah dapat mencapai cita-citanya, atau dengan kata lain, manusia seperti ini hanya berkhayal saja.
b.  Faktor Kondisi 
Pada umumnya ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi tercapainya cita-cita, yaitu yang menguntungkan dan yang menghambat. Faktor yang menguntungkan merupakan kondisi yang memperlancar tercapainya suatu cita-cita, sedangka faktor yang menghambat merupakan kondisi yang merintangi tercapainya suatu cita-cita.


c.   Faktor tingginya cita-cita
Tingginya cita-cita merupakan suatu hal yang harus dipegang oleh seorang manusia yang ingin mencapai cita-citanya
Suatu cita-cita tidak hanya dimliki oleh individu saja, masyarakat dan bangsa memiliki cita-cita juga. Cita-cita masyarakat suatu kampong, misalnya, antara lain berupa keinginan untuk memperoleh suatu sekolah menengah agar anak-anak kampung tidak perlu bersusah payah mencari sekolah.
Cita-cita suatu bangsa merupakan keinginan atau tujuan suatu bangsa, misalnya, bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang maerupakan sarana untuk menjadi suatu bangsa yang masyarakatnya memiliki keadilan dan kemakmuran.
3. KEBAJIKAN
            Kebajikan mengandung arti perbuatan baik, sesuatu yang mengandung kebaikan. Dengan demikian, maka kebajikan merupakan suatu tindakan (action) yang bersumber pada kebajikan, yaitu kepandaian kemahiran.

            Faktor-faktor yang menentukan tingkah laku seseorang terdiri atas tiga hal, yaitu pembawaan, lingkungan, dan pengalaman.
a.       Faktor Pembawaan
Pembawaan (hereditas) telah ditentukan pada waktu seseorang masih dalam kandungan karena pembawaan merupakan hal yang diturunkan atau dipusakai dari orang tua.
b.      Faktor Lingkungan
Lingkugan (environment) merupakan alam kedua yang membentuk tingkah laku seseorang (secondary nature). Setelah seorang anak lahir. Lingkungan yang membentuk jiwa seseorang terdiri atas lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam lingkungan keluarga, orang tua ataupun anak-anak yang lebih tua merupakan panutan seseorang, sehingga apabila yang dianut sebagai teladan berbuat yang baik-baik, si anak yang tengah membentuk diri pribadinya akan baik juga. Dalam lingkungan sekolah yang menjadi panutan utama adalah guru, sementara itu teman-teman sekolah dapat juga memberikan andilnya. Dalam lingkungan sekolah, tokoh panutan seorang anak sudah memiliki posisi yang lebih luas dibandingkan dalam lingkungan keluarga. Pembentukan pribadi dalam sekolah terjadi pada masa anak-anak atau masa sekolah. Lingkungan masyarakat, di dalam ligkungan ini, yang menjadi panutan seorang bagi seseorang adalah tokoh masyarakat dengan masa setelah anak-anak menjadi dewasa atau duduk di perguruan tinggi.
c.       Pengalaman
Pengalaman khas yang pernah diperoleh seseorang dapat menentukan tingkah laku seseorang. Baik pengalaman pahit yang sifatnya negative, maupun pengalaman manis yang sifatnya positif dapat memberi manusia suatu bekal yang selalu dipergunakan sebagai pertimbangan sebelum seseorang mengambil tindakan.
           
            Selain tampak dari tingkah lakunya sebagai aksi (action), kebijakan seseorang juga akan tampak dari tutur kata bahasa lisannya. Tutur kata atau bahasa seseorang juga dapat menunjukkan pribadinya. Oleh karena itu, tutur kata yang keras dan menyakitkan hati ataupun tutur kata yang lunak, tetapi memedihkan hati merupakan cara yang sama sekali yang tidak bijaksana dan tidak menggambarkan suatu kebajikan. Sebaliknya, tutur kata yang lemah lembut, penuh pengertian, dan nasihat menggambarkan kebajikan si pembicara.

4. ETIKA

            Istilah etika dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Yunani, ethos, yang berarti watak kesusilaan atau dapat. Jadi, hampir sama dengan pengertian moral, yang berarti cara hidup atau adat. Etika itu dipergunakan dalam mengkaji suatu sistem nilai yang ada. Sedangkan moral dipergunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai.

            Berikut diberikan dua buah definisi etika. “Etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sebaiknya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk, segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang peri keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.

Budaya Jawa


BUDAYA JAWA
            Memebincang budaya jawa terlebih dahulu perlu diketahui siapa masyarakat jawa. Masyarakat Jawa meupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di Pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa. Pemahaman demikian menyiratkan kata kunci “Khas dan berkarakter Jawa”, ibarat minuman Sprite, ia memiliki trade mark. Meskipun ia dipindahkan dari asalnya, tetap saja orang memaknai bahwa ia adalahminuman produk Coca Cola dari Amerika. Padahal minuman tersebut menjadi minuman keseharian sebagian masyarakat Jawa
            Masyarakat jawa adalah mereka yang secara geografis bertempat tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, bukan Jawa Barat,Banten, dan Jakarta yang dihuni oleh suku Sunda dan Betawi, dan bukan pula bagian timur Jawa yang menggunakan bahasa Madura meskipun masih kategori subkultur Jawa.
Mereka yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur mengembangkan kebudayaan Jawa. Kebudayaan merupakan unsur pengoganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya yang merupakan terbaik. Kebudayaan juga dimaknai sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia dalam suatu komunitasdalam rangka adaptasi diri individu atau kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas terbaik sesuai dengan pandangan hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti terkait dengan komunitas dan identitas sosial seperi Sunda, Batak, Bali, dan Jawa.
Adapun dalam nilai Budaya banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yangtidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.
Adapun dalam prinsip hidup orang Jawa  adalah jika secara individu demi tercapainya puncak kemajuan ruhani, yakni manunggaling kaulo gusti seseorang harus melakukan olah rasa yang didukung oleh sikap batin yang tepat maka dalam kehidupan social di masyarakat puncak kemajuan tertinggi tersebut akan  dapat dicapai jika kehidupan bersama dijalankan dengan prinsip kerukunan, hormat, dan toleransi. Ketiga prinsip ini akan mendukung herak keseluruhan masyarakat Jawa secara harmonis dan semakin tampak halus, dalam arti tidak ada kekacauan dan konflik. Dengan prinsip kerukunan maka keselarasan social di mana semua pihak berdamai satu sama lain akan terwujud. Dengan prinsip hormat yang merupakan “:penangkapan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat kepada pribadi lain”, individu Jawa akan lebih dapat menempatkan  dirinya secara cepat dalam posisi social
ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
            Sebagian besar ahli Barat menganut teori bahwa pembawa atau juru da’wah pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang membawa Islam bersama-sama dengan dagangan mereka. Sebuah elaborasi dari teori ini menyatakan bahwa para pedagang Muslim itu melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Terbentuknya keluarga Muslim yang merupakan nucleuskomunitas Muslim selanjunya memainkan peranan yang sangat besar dalam menyebarkan Islam. Sejumlah pedagang itu juga diyakini menikah dengan kelurga kerajaan yang memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya memperolah kekuasaan politik [1]
            Para pedagang Muslim itu datang dari Arab (makkah-mesir), Gujarat India Persia. Secara antropologis, kesimpulan ini diketahui dengan adanya perkampungan Islam di Pantai Barat Sumatra tahun 674 M, madzhab pemikiran keagamaan kesultanan Samudra Pasai yang Syafi’iyah, dan raja-rajanya yang bergelar Al- Malik, sebagaimana madzhab dan gelar-gelar sultan di Mesir. Di sisi lain batu nisan Sultan Pasai, yaitu Malik al-Shalih tahun 1927 bercorak khas Gujarat India yang menunjukkan banyak pedagang Muslim kala itu yang dari India. Dari aspek budaya local, Indonesia memiliki kesamaan budaya dengan Persia atau Iran seperi penghormatan yang tinggi terhadap 10 Syuro atau 10 Muharom yang dikenal syuroan dan di Sumatra Barat ada upacar tabut sebagai peringatan hari wafat Husein cucu nabi yang dijunjung tinggi oleh rakyat Iran, ajaran manunggaling kaula gusti  dari Syekh Siti Jenar sama dengan ajaran al-hallaj dari Iran.[2]
            Adapun dalam penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih yang mengelola unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan yang tetap hidup dalam kegelapan animism-dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh Hinduisme.  Dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Dalam cerita babad tanah Jawa diterangkan bahwa Raja Majapahit tidak mau menerima agama baru, sehingga Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para da’I agama Islam menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.[3]
Adapun pemikir muda Andre Muller (2005) menyatakan, Ramadaan di Jawa (dan Indonesia) adalah Ramadhan yang ketat dibandingkan dengan Ramadan di negara-negara Islam lainnya. Ramadan adalah ajaran yang mengadung ajakan normatif (ritus) yang berkembang dalam konteks budaya Jawa. Banyak sekali perkembangan ritus agama akibat pengaruh budaya Jawa. Contoh, kebiasaan nyekar (nyadran), mengintensifkan membaca Al-Quran (tadarus), ruwahan (diartikan sebagai komunikasi dengan ruh), turunnya lailatul qadar sebagai hilangnya sukerta (produk ruwatan, untuk menghilangkan dosa-dosa manusia).
Hubungan Islam dan budaya Jawa digambarkan oleh Andre Muller sebagai hangat dan mesra, karena Ramadan diibaratkan sebagai "sepotong surga" yang dapat dinikmati semua umat yang mau mendekatkan diri kepada Allah.Pemahaman tentang Islam dalam konteks kebudayaan ini tidak terpisah. Pengembangan ajaran Islam dan budaya pendukungnya bukan berarti merendahkan atau memisahkannya dengan Islam sejati, tetapi justru membuat ajaran Islam makin membumi dalam kehidupan nyata. Pandangan yang memisahkan ajaran Islam dan budaya lokal telah mengakibatkan peribadatan mengalami marginalisasi secara sistematis. Teori-teori tentang perkembangan Islam di Asia sejauh ini justru tidak menguntungkan bagi pengaruh Islam sendiri. Sebagai contoh teori Clifford Geertz (1960) yang terlalu merendahkan posisi Islam dalam konteks lokal (priyayi, santri, dan abangan). Redfield (1956) dan Gellner (1981) juga melihat tradisi besar sebagai milik Islam ulama membuat distingsi yang tajam antara "Islam benar" dan "Islam tidak benar".
Dalam kenyataannya, perkembangan Islam lebih diperkaya oleh konteks budaya lokal yang mendukungnya. Ajaran Islam ternyata tidak pernah tumbuh dalam sebuah ruang sosial yang steril. Sebaliknya yang terjadi adalah kenyataan bahwa Islam selalu berasosiasi dengan masyarakat lokal. Ajaran Islam ternyata menjadi milik umat manusia untuk membangun peradabannya, tumbuh melintasi batas-batas budaya, etnis, bahkan kelas sosial. Secara umum, ritus-ritus "resmi" Islam justru lebih menguat dengan melihatnya sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan penganutnya, bersama "kebudayaan asli" mereka sendiri. Paling tidak ada beberapa garis besar tentang kompleks perkembangan Islam dalam konteks kehidupan lokal. Pertama, bertolak dari ajaran Al-Quran dan mengikuti sunah Rasulullah. Kedua, memuat keyakinan mengenai adanya pahala. Kedua, ritus agama diyakini akan mengurangi dosa yang dibuat manusia. Keempat, ritus agama dapat meningkatkan Tauhid.
Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyaraskat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri,  abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya pikir Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan, adanya objektifitas dalam hasil di peroleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa merunut pada tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di  akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi.
 Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsur ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang dimilikinya. Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan.Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu yang menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambang penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya. Ketika sampai kembali di komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air di sekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuhtong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan doa yang bernafaskan Islam, di sinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan doa-doa Hindu atau Budha, setelah Islam datang diganti dengan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Islam, Al-Quran.
Ada nuansa kedamaian yang dapat dalam praktik ritual mereka, bahwa dalam perbedaan ada titik-titik yang dapat disatukan. Satu hal yang mungkin bisa diterapkan di bidang-bidang selain budaya. Membumikan kedamaian di antara kita, yang kian hari kian terasa semakin luntur.


KARAKTERISTIK BUDAYA JAWA YANG MENONJOL
            Tuntutan social dalam kultur Jawa untuk selalu mempertahankan keselarasan, memelihara harmoni demi tercapai kesatuan mistis antara abdi dan tuan, telah membangun sikap hidup dan prinsip hidup yang khas. Untuk selanjutnya kekhasan ini menjadi menonjol ketika dilihat oleh orang luar. Cirri menonjol tersebut antara lain adalah besarnya ikatan kekeluargaan dalam masyarakat Jawa; Budaya Jawa. Cirri ini merupakan sebuah ekspresi paling nyata dari proses psikologis yang sering dikenal sebagai disolecement, yakni pemindahan energi dari satu obyek atau id eke obyek atau ide yang lain. Pemindahan ini terjadi terutama jika pada satu posisi energi ini ditekan. Artinya pada satu posisi energi tidak bisa diekspresikan sehingga ia akan berpindah ke tempat yang memungkinkannya untuk diekspresikan. Dalam hal ini, tatkala individu Jawa ditekan untuk selalu menahan diri saat berada pada situasi social maka energy yang ditekan ini bagaimanapun membutuhkan tempat pelepasan. Tempat yang paling memungkinkan adalah keluarga.
            Dengan demikian keluarga menjadi tempat untuk menampung pengalihan energy yang ditekan secara social. Keluarga secara ideal merupakan tempat orang Jawa terbebas dari tekanan-tekanan lahiriah dan batiniah. Ia dapat mengembangkan kesosialannya dan didalamnya juga individualitasnya.[4] Jika pada masyarakat luas ia berada dibawah tekanan psikis untuk selalu menyembunyikan perasaan-perasaan yang sebenarnya serta dituntut untuk selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap pihak, maka keluarga menjadi oasis kebebasan tempat ia bias menjalankan keutamaan-keutamaan social sesuai dengan perasaan dan pengertiannya sendiri
            Ciri lain yang tak kalah penting adalah kultur Jawa sering kali berfungsi sebagai resistensi cultural sekaligus ideology. Kultur Jawa sangat dikenal dengan kultur yang bersifat momot (memuat). Dengan sifat ini kultur Jawa terbukti selalu bertahan dari penetrasi luar karena selalu mampu mengintregasikan hal-hal yang bertentangan maupun hal-hal baru. Dalam hal ini budaya Jawa juga sekaligus berfungsi sebagai ideologi. Dengan berfungsinya kultur Jawa sebagai ideology maka  ketika muncul penetrasi dari luar akan selalu timbul kepentingan untuk mempertahankan sisitem kultur yang sudah ada. Namun demikian tidak berarti budaya Jawa sebagai dogma yang bersifat ideologis dan tidak bias memuat unsur lain. Disinilah letak keunikan budaya Jawa. Ia dapat berfungsi sebagai ideology, namun tetap fleksibel sehingga tetap bertahan dari gempuran penetrasi luar.
            Secara umum berkembang upaya pemaknaan terhadap ritus-ritus Islam dalam bentuk penerapan hukum agama. Agama Islam memiliki sifat ortodoksi (dengan memperhatikan nilai ajaran) sekaligus memiliki sifat ortopraksi (bagaimana ritus Islam dijalankan), membuat sistem ibadah Ramadan dimaknai sebagai nilai-nilai religi dalam pergulatan hidup keseharian.

Puasa Ramadan oleh masyarakat Jawa ditafsirkan sebagai proses penyucian diri, sekaligus meretas jalan menuju kepada kesempurnaan yang dicapai saat Idul Fitri. Makna itu dalam budaya dan pandangan orang Jawa menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Dengan demikian, ritus Ramadan memiliki posisi lebih tinggi ketimbang perayaan Idul Adha. Penguatan ajaran Ramadan nampaknya dimaknai sebagai ritus kehidupan menuju kebesaran Allah. Orang yang dapat dekat dengan Allah adalah orang yang suci lahir dan batin.
Dalam pandangan budaya Jawa tradisional, manusia memiliki dua ruangan sekaligus. Pertama, jagad gede (makrokosmos), yang memberikan ruang kepada manusia untuk berkomunikasi kepada Tuhan. Kedua, jagad cilik (mikrokosmos) yang memberikan ruang kepada manusia untuk bergaul dengan sesama manusia.[5] Kedua ruangan itu isinya harus selaras, atau isi dari kedua ruangan itu harus dapat bertemu menjadi satu (manunggal). Orang yang memiliki jagad gede harus pula merasa memiliki jagad cilik, karena kedua jagad itu sesunguhnya saling menyambung.
Kepercayaan (iman) kepada Tuhan dengan sendirinya mengandaikan pengamalan spirit tersebut dalam masyarakat, dengan cara berbuat kebaikan (laku utama). Pandangan Jawa ini selaras dengan ajaran Islam dalam memberi makna ibadah. Dalam Islam, ibadah memiliki dua bentuk yang berjalan simultan, yaitu ibadah kepada Tuhan (habluminallah) dan Ibadah kepada manusia (habluminannas). 
Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sikap itu mencerminkan adanya kemampuan dan kemauan Muslim Indonesia untuk menyerap budaya lokal menjadi bagian dari ajaran Islam. Budaya dipandang sebagai bagian yang inheren dengan kehidupan masyarakat, sehingga tidak memungkinkan bagi sebuah gerakan yang membawa nafas rahmatan lil’alamin memberangus sesuatu yang sudah menjadi bagian dari masyarakat
               Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.
              
               Pertemuan antara individu atau komunitas yang satu dengan yang lainakan melahirkan sebuah kontak pemikiran budaya yang di mliliki oleh masing-masing pihak sehingga terjadi proses dialektika pemikiran dan budaya secara kontinu. Respons yang berbeda terhadap kontak dan interaksi yang terjadi sesuai dengan dasar potensi yang ada menimbulkan heteroginitas hasil pemikiran dan budaya yang terbentuk.



[1]           Roqib Muhammad,l Harmoni dalam budaya Jawa,  hlm 80
[2]           Ibid, hlm 80
[3]           Ibid, hlm 83
[4]           Novianto Ardhian, Kuasa Wanita Jawa, hlm 76
[5] Salim Agus, Artikel idul fitri dan budaya lokal jawa

Epistimologi


A.     Pengertian Epistimologi
Menurut Runes dalam Dictionary of Philosophy, kata epistemologi berasal dari kata episteme di tambah logos, theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemologi sebagai berikut: Epistemologi sebagai cabang fislasat yang meyelidiki tentang keaslian, pengertian, struktur, metoda dan validitas ilmu pengetahuan.[1] Selanjutnya Nasution memberikan arti epistemologi: Episteme berarti pengetahuan dan epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang (a) apa itu pengetahuan, dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetehuan.[2]
Rumusan lain tentang epistemologi dikemukakan oleh Suhono yang menyatakan, bahwa epistemologi adalah teori mengenai hakekat ilmu pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusuia atas kenyataan.
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Istilah epistemologi terkait dengan :
a)      Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b)      Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c)      Sistem,yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

B. Model-Model Epistimologi menurut barat dan islam
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja. Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis. Aliran positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal, kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan. Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri.
Di dalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan, dalam epistemologi Islam setidaknya ada tiga model yang digunakan, yaitu bayani, irfani dan burhani.
1.      Epistemologi Bayani
Epistemologi bayani menitikberatkan pada teks (nash) baik secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah jadi dan langsung diterapkan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu. Secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang masih perlu ditafsirkan dan
dinalar.
Sesuai dasarnya, masalah yang muncul dengan epistemologi bayani adalah pemaknaan teks. Apakah teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya. Maka, pemaknaan teks oleh epistemologi bayani menggunakan dua cara. Pertama, dengan berpegang pada redaksi teks sesuai kaidah bahasa Arab. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa. Meskipun perlu dinalar atau dianalisa, akal tidak bebas menentukan makna karena dasar utamanya tetap berupa teks. Ini berarti sumber pengetahuan utama epistemologi bayani adalah Al-Quran dan hadits.
2.      Epistemologi Irfani
Epistemologi irfani didasarkan pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa
depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla.
Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu. Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif.
3.      Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani didasarkan pada kekuatan rasio, akal, dan dalil-dalil logika, bukannya teks atau intuisi. Rasio akan memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra. Untuk mendapatkan pengetahuan dengan metode burhani, digunakan penarikan kesimpulan dengan aturan silogisme. Silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Mengetahui latar belakang penyusunan premis
2. Adanya alas an logis antara alas an dan kesimpulan
3. Kesimpulan yang diambil bersifat pasti dan benar, tidak menimbulkan kebenaran atau        kepastian lain.
Al Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani haruslah premis yang benar, primer, dan diperlukan. Otoritas referensi epistemologi burhani adalah Al-Quran, hadits, dan pengalaman salaf. Epistemologi bayani mulai berkembang saat kemapanan pemerintahan Islam pada masa pemerintahan Abbasiyah. Masuknya pemikiran filsafat Yunani dan logika Aristoteles ke dalam komunitas Muslim menumbuhkan proses berpikir yang analitik. Hal yang saat itu sangat kurang di dalam epistemology Arab.
Secara umum epistemologi memiliki peran atau kedudukan sentral dalam ilmu pengetahuan yang terkait dengan bagaimana cara (metode) memperoleh pengetahuan serta validitasnya. Dalam khazanah pemikiran Islam, epistemologi Islam memiliki kedudukan bertingkat-tingkat, di dalamnya meliputi: a) perenungan (comtemplation) b) pengindraan (sensation) c) pencerapan (perception) d) penyajian (representation) e) konsep (concept)      f) timbangan (judgement) g) penalaran (reasoning).[3]

C.     Perbedaan Epistimologi Barat Dan Islam
Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektivitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir.
Rumusan tersebut membawa dua konsekuensi penting. Di satu sisi epistemologi Islam (arti luas) membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, sedangkan di sisi lain (ati khusus), epistemologi Islam menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam (Amin, 1983:11)
 perbedaan yang mendasar epistemologi Islam dengan epistemologi Barat terletak pada titik pusatnya. Dalam epistemologi Barat bahwa pengetahuan berpusat pada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya. Sedangkan epistemologi Islam menyatakan bahwa pengetahuan berpusat pada Allah (theocentric), sehinggaa berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia meniscayakan adanya iradah Allah. Allah-lah sebagai sumber pengetahuan dan pusat kebenaran.[4]

D. tahapan di dalam Filosof Epistimologi Barat
Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dibagi dalam tiga babak (periodesasi). Pertama, sebelum 15.00 tahun SM (Sebelum Masehi) dengan ciri utama manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia menemukan cara-cara untuk tetap bertahan dengan cara mempelajari alam. Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya nalarnya yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Corak masyarakat pada saat itu bercirikan budaya hidup nomade (berpindah-pindah). Tujuan hidup nomade ini pun masih tetap didominasi oleh pemenuhan hidup, mencari sumber-sumber energi baru yang dapat menopang dan mempertahankan hidupnya.
Sekitar 15.000 – 600 tahun SM, perioode awal, peradaban manusia telah mulai mengenal membaca, menulis dan berhitung. Menurut Wahyudi, manusia telah berusaha mengirim pesan dalam bentuk patán-pahatan atau goresan-goresan pada batu sekitar 300.000 SM yang belakangan disebut dengan pictogram yang tersimpan di Musium Ontario, Toronto Kanada. Selanjutnya masuk ke periode Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, Niviveh, Tiongkok, Maya, dan Inca. Pada tahun 100 – 44 SM, pada masa kerajaan Roma, dan rajanya dijabat oleh Gajus Julius Caesar telah mengenal dasar-dasar jurnalistik melalui tulisan tangan (Wahyudi, 1991:72). Dalam kurun waktu yang relatif panjang sejarah peradaban telah banyak melahirkan para filosof terkenal seperti Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain. Pada masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan silogismo.
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir Arab-Islam yang membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada abad ini lahir para pemikir seperti Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina atau Avisena, Ibnu Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang pesat sebagai hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan proses sistesa. Abad modern pun ditandai oleh paradigma positivisme yang digagas oleh August Comte melalui Sosiologi Positif. Comte ingin menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan berkembang cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisik.[5]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan tentang ilmu seyogyanya mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana cara ilmu melakukan pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta untuk apa pengetahuan ilmiah yang telah disusun itu dipergunakan. Ketiga hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal dengan istilah ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan axiologi (untuk apa). Dalam operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan ”bantuan” ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.[6]

E. paham-paham dalam epistimologi barat
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan tiga paham:
 Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan penting dalam, mengolah informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan. Rasionalisme ini terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan rasionalisme realis. Rasionalisme idealis berpegang teguh kepada keyakinan bahwa pengetahuan kita dapat melampaui pengalaman panca indera sejati. Sedangkan rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan oleh rasio tidak terlepas dari obyek yang diamatinya. Langeveld: “Rasio mengolah pengalaman sambil meresap ke dalam obyek, sedangkan obyek itu sendiri bukan hasil ciptaan sukma manusia” Melalui rasio, ilmuwan dapat melakukan tiga hal penting yang menjadi basis pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi, dan (3) kausalitas. Definisi melakukan proses pembatasan tentang sesuatu yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi melakukan proses perbandingan antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana yang menjadi ”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”. Bebarapa tokoh penting yang berada dibalik paham rasionalisme ini misalnya, Augustinus, Scotus, Descrates, Spinoza, Leibniz, Fichte, Hegel, dan lain-lain.
Meskipun gegap gempita rasionalisme telah mampu menyedot perhatian ilmuwan seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik atau membantahnya. Bantahan terhadap rasionalisme misalnya: (1) rasionalisme bersifat spekulatif, terlalu mengandalkan olahan rasio dan lalai dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme cenderung a-priori, dalam arti masalah psikologis yang merupakan pembawaan individual (tanggapan-tanggapan pembawaan) akan berbeda pada diri setiap orang.
Kedua, empirisme, yaitu Suatu paham yang berpendapat bahwa pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada pengalaman. Dalam perkembangannya empirisme ini terbagi dua, yaitu empirisme sensualisme dan empirisme konsiensialisme. Empirisme sensualisme yaitu proses perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman pancaindera semata-mata. Sensualisme ini memiliki keterbatasan, bahwa kebenaran pancaindera bersifat semu. Sedangkan empirisme konsiensialisme mengemukakan bahwa Keputusan yang diambil dari pengalaman panca indera berdasarkan pertimbangan penuh kesadaran, dalam arti pertimbangan yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa” dalam [aham empirismo ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di antara bantahan yang tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang dilahirkan apakah hasil pengamatan nyata atau keputusan si pengamat sendiri ? dan (2) Pengamatan hanya menghasilkan kenyataan yang memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi sikap “a priori” sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau mendamaikan kedua kutub paham yang bersebrangan secara diameteral. Paham ini berpendapat bahwa pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh kedua instasnsi, yaitu rasio dan pengalaman inderawi. Rasio dan pengalaman memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh karena itu suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi jalan tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap pengetahuan secara utuh tanpa pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman inderawi saja tidak bisa menghasilkan pengetahuan tanpa diolah secara kreatif oleh rasio (otak).

BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa kutipan di atas nampak dengan jelas, bahwa pada dasarnya epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi: (a) filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, (b) metoda, sebagai metoda bertujuan mengantar manusia untk memperoleh pengetahuan, dan (c) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri.
Di dalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja. Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis.









[1] Runes, Dagobert, D., 1971. Dictionary of Philosophy. Totowa New Jersey: Adam & Co
[2] Nasution, Harun, 1973. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
[3] Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”, Universitas SumateraUtara
[4] Amin, Miska, M., Epistemologi Islam. Yakarta: Universitas Indonesia Press
[5] Wahyudi, J.B., 1991. Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Alumni
[6] Qadir, C.A., (Penyunting), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Yakarta: Yayasan Obor Indonesia