Minggu, 23 Mei 2010

Budaya Jawa


BUDAYA JAWA
            Memebincang budaya jawa terlebih dahulu perlu diketahui siapa masyarakat jawa. Masyarakat Jawa meupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di Pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa. Pemahaman demikian menyiratkan kata kunci “Khas dan berkarakter Jawa”, ibarat minuman Sprite, ia memiliki trade mark. Meskipun ia dipindahkan dari asalnya, tetap saja orang memaknai bahwa ia adalahminuman produk Coca Cola dari Amerika. Padahal minuman tersebut menjadi minuman keseharian sebagian masyarakat Jawa
            Masyarakat jawa adalah mereka yang secara geografis bertempat tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, bukan Jawa Barat,Banten, dan Jakarta yang dihuni oleh suku Sunda dan Betawi, dan bukan pula bagian timur Jawa yang menggunakan bahasa Madura meskipun masih kategori subkultur Jawa.
Mereka yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur mengembangkan kebudayaan Jawa. Kebudayaan merupakan unsur pengoganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya yang merupakan terbaik. Kebudayaan juga dimaknai sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia dalam suatu komunitasdalam rangka adaptasi diri individu atau kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas terbaik sesuai dengan pandangan hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti terkait dengan komunitas dan identitas sosial seperi Sunda, Batak, Bali, dan Jawa.
Adapun dalam nilai Budaya banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yangtidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.
Adapun dalam prinsip hidup orang Jawa  adalah jika secara individu demi tercapainya puncak kemajuan ruhani, yakni manunggaling kaulo gusti seseorang harus melakukan olah rasa yang didukung oleh sikap batin yang tepat maka dalam kehidupan social di masyarakat puncak kemajuan tertinggi tersebut akan  dapat dicapai jika kehidupan bersama dijalankan dengan prinsip kerukunan, hormat, dan toleransi. Ketiga prinsip ini akan mendukung herak keseluruhan masyarakat Jawa secara harmonis dan semakin tampak halus, dalam arti tidak ada kekacauan dan konflik. Dengan prinsip kerukunan maka keselarasan social di mana semua pihak berdamai satu sama lain akan terwujud. Dengan prinsip hormat yang merupakan “:penangkapan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat kepada pribadi lain”, individu Jawa akan lebih dapat menempatkan  dirinya secara cepat dalam posisi social
ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
            Sebagian besar ahli Barat menganut teori bahwa pembawa atau juru da’wah pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang membawa Islam bersama-sama dengan dagangan mereka. Sebuah elaborasi dari teori ini menyatakan bahwa para pedagang Muslim itu melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Terbentuknya keluarga Muslim yang merupakan nucleuskomunitas Muslim selanjunya memainkan peranan yang sangat besar dalam menyebarkan Islam. Sejumlah pedagang itu juga diyakini menikah dengan kelurga kerajaan yang memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya memperolah kekuasaan politik [1]
            Para pedagang Muslim itu datang dari Arab (makkah-mesir), Gujarat India Persia. Secara antropologis, kesimpulan ini diketahui dengan adanya perkampungan Islam di Pantai Barat Sumatra tahun 674 M, madzhab pemikiran keagamaan kesultanan Samudra Pasai yang Syafi’iyah, dan raja-rajanya yang bergelar Al- Malik, sebagaimana madzhab dan gelar-gelar sultan di Mesir. Di sisi lain batu nisan Sultan Pasai, yaitu Malik al-Shalih tahun 1927 bercorak khas Gujarat India yang menunjukkan banyak pedagang Muslim kala itu yang dari India. Dari aspek budaya local, Indonesia memiliki kesamaan budaya dengan Persia atau Iran seperi penghormatan yang tinggi terhadap 10 Syuro atau 10 Muharom yang dikenal syuroan dan di Sumatra Barat ada upacar tabut sebagai peringatan hari wafat Husein cucu nabi yang dijunjung tinggi oleh rakyat Iran, ajaran manunggaling kaula gusti  dari Syekh Siti Jenar sama dengan ajaran al-hallaj dari Iran.[2]
            Adapun dalam penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih yang mengelola unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan yang tetap hidup dalam kegelapan animism-dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh Hinduisme.  Dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Dalam cerita babad tanah Jawa diterangkan bahwa Raja Majapahit tidak mau menerima agama baru, sehingga Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para da’I agama Islam menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.[3]
Adapun pemikir muda Andre Muller (2005) menyatakan, Ramadaan di Jawa (dan Indonesia) adalah Ramadhan yang ketat dibandingkan dengan Ramadan di negara-negara Islam lainnya. Ramadan adalah ajaran yang mengadung ajakan normatif (ritus) yang berkembang dalam konteks budaya Jawa. Banyak sekali perkembangan ritus agama akibat pengaruh budaya Jawa. Contoh, kebiasaan nyekar (nyadran), mengintensifkan membaca Al-Quran (tadarus), ruwahan (diartikan sebagai komunikasi dengan ruh), turunnya lailatul qadar sebagai hilangnya sukerta (produk ruwatan, untuk menghilangkan dosa-dosa manusia).
Hubungan Islam dan budaya Jawa digambarkan oleh Andre Muller sebagai hangat dan mesra, karena Ramadan diibaratkan sebagai "sepotong surga" yang dapat dinikmati semua umat yang mau mendekatkan diri kepada Allah.Pemahaman tentang Islam dalam konteks kebudayaan ini tidak terpisah. Pengembangan ajaran Islam dan budaya pendukungnya bukan berarti merendahkan atau memisahkannya dengan Islam sejati, tetapi justru membuat ajaran Islam makin membumi dalam kehidupan nyata. Pandangan yang memisahkan ajaran Islam dan budaya lokal telah mengakibatkan peribadatan mengalami marginalisasi secara sistematis. Teori-teori tentang perkembangan Islam di Asia sejauh ini justru tidak menguntungkan bagi pengaruh Islam sendiri. Sebagai contoh teori Clifford Geertz (1960) yang terlalu merendahkan posisi Islam dalam konteks lokal (priyayi, santri, dan abangan). Redfield (1956) dan Gellner (1981) juga melihat tradisi besar sebagai milik Islam ulama membuat distingsi yang tajam antara "Islam benar" dan "Islam tidak benar".
Dalam kenyataannya, perkembangan Islam lebih diperkaya oleh konteks budaya lokal yang mendukungnya. Ajaran Islam ternyata tidak pernah tumbuh dalam sebuah ruang sosial yang steril. Sebaliknya yang terjadi adalah kenyataan bahwa Islam selalu berasosiasi dengan masyarakat lokal. Ajaran Islam ternyata menjadi milik umat manusia untuk membangun peradabannya, tumbuh melintasi batas-batas budaya, etnis, bahkan kelas sosial. Secara umum, ritus-ritus "resmi" Islam justru lebih menguat dengan melihatnya sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan penganutnya, bersama "kebudayaan asli" mereka sendiri. Paling tidak ada beberapa garis besar tentang kompleks perkembangan Islam dalam konteks kehidupan lokal. Pertama, bertolak dari ajaran Al-Quran dan mengikuti sunah Rasulullah. Kedua, memuat keyakinan mengenai adanya pahala. Kedua, ritus agama diyakini akan mengurangi dosa yang dibuat manusia. Keempat, ritus agama dapat meningkatkan Tauhid.
Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyaraskat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri,  abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya pikir Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan, adanya objektifitas dalam hasil di peroleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa merunut pada tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di  akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi.
 Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsur ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang dimilikinya. Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan.Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu yang menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambang penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya. Ketika sampai kembali di komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air di sekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuhtong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan doa yang bernafaskan Islam, di sinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan doa-doa Hindu atau Budha, setelah Islam datang diganti dengan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Islam, Al-Quran.
Ada nuansa kedamaian yang dapat dalam praktik ritual mereka, bahwa dalam perbedaan ada titik-titik yang dapat disatukan. Satu hal yang mungkin bisa diterapkan di bidang-bidang selain budaya. Membumikan kedamaian di antara kita, yang kian hari kian terasa semakin luntur.


KARAKTERISTIK BUDAYA JAWA YANG MENONJOL
            Tuntutan social dalam kultur Jawa untuk selalu mempertahankan keselarasan, memelihara harmoni demi tercapai kesatuan mistis antara abdi dan tuan, telah membangun sikap hidup dan prinsip hidup yang khas. Untuk selanjutnya kekhasan ini menjadi menonjol ketika dilihat oleh orang luar. Cirri menonjol tersebut antara lain adalah besarnya ikatan kekeluargaan dalam masyarakat Jawa; Budaya Jawa. Cirri ini merupakan sebuah ekspresi paling nyata dari proses psikologis yang sering dikenal sebagai disolecement, yakni pemindahan energi dari satu obyek atau id eke obyek atau ide yang lain. Pemindahan ini terjadi terutama jika pada satu posisi energi ini ditekan. Artinya pada satu posisi energi tidak bisa diekspresikan sehingga ia akan berpindah ke tempat yang memungkinkannya untuk diekspresikan. Dalam hal ini, tatkala individu Jawa ditekan untuk selalu menahan diri saat berada pada situasi social maka energy yang ditekan ini bagaimanapun membutuhkan tempat pelepasan. Tempat yang paling memungkinkan adalah keluarga.
            Dengan demikian keluarga menjadi tempat untuk menampung pengalihan energy yang ditekan secara social. Keluarga secara ideal merupakan tempat orang Jawa terbebas dari tekanan-tekanan lahiriah dan batiniah. Ia dapat mengembangkan kesosialannya dan didalamnya juga individualitasnya.[4] Jika pada masyarakat luas ia berada dibawah tekanan psikis untuk selalu menyembunyikan perasaan-perasaan yang sebenarnya serta dituntut untuk selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap pihak, maka keluarga menjadi oasis kebebasan tempat ia bias menjalankan keutamaan-keutamaan social sesuai dengan perasaan dan pengertiannya sendiri
            Ciri lain yang tak kalah penting adalah kultur Jawa sering kali berfungsi sebagai resistensi cultural sekaligus ideology. Kultur Jawa sangat dikenal dengan kultur yang bersifat momot (memuat). Dengan sifat ini kultur Jawa terbukti selalu bertahan dari penetrasi luar karena selalu mampu mengintregasikan hal-hal yang bertentangan maupun hal-hal baru. Dalam hal ini budaya Jawa juga sekaligus berfungsi sebagai ideologi. Dengan berfungsinya kultur Jawa sebagai ideology maka  ketika muncul penetrasi dari luar akan selalu timbul kepentingan untuk mempertahankan sisitem kultur yang sudah ada. Namun demikian tidak berarti budaya Jawa sebagai dogma yang bersifat ideologis dan tidak bias memuat unsur lain. Disinilah letak keunikan budaya Jawa. Ia dapat berfungsi sebagai ideology, namun tetap fleksibel sehingga tetap bertahan dari gempuran penetrasi luar.
            Secara umum berkembang upaya pemaknaan terhadap ritus-ritus Islam dalam bentuk penerapan hukum agama. Agama Islam memiliki sifat ortodoksi (dengan memperhatikan nilai ajaran) sekaligus memiliki sifat ortopraksi (bagaimana ritus Islam dijalankan), membuat sistem ibadah Ramadan dimaknai sebagai nilai-nilai religi dalam pergulatan hidup keseharian.

Puasa Ramadan oleh masyarakat Jawa ditafsirkan sebagai proses penyucian diri, sekaligus meretas jalan menuju kepada kesempurnaan yang dicapai saat Idul Fitri. Makna itu dalam budaya dan pandangan orang Jawa menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Dengan demikian, ritus Ramadan memiliki posisi lebih tinggi ketimbang perayaan Idul Adha. Penguatan ajaran Ramadan nampaknya dimaknai sebagai ritus kehidupan menuju kebesaran Allah. Orang yang dapat dekat dengan Allah adalah orang yang suci lahir dan batin.
Dalam pandangan budaya Jawa tradisional, manusia memiliki dua ruangan sekaligus. Pertama, jagad gede (makrokosmos), yang memberikan ruang kepada manusia untuk berkomunikasi kepada Tuhan. Kedua, jagad cilik (mikrokosmos) yang memberikan ruang kepada manusia untuk bergaul dengan sesama manusia.[5] Kedua ruangan itu isinya harus selaras, atau isi dari kedua ruangan itu harus dapat bertemu menjadi satu (manunggal). Orang yang memiliki jagad gede harus pula merasa memiliki jagad cilik, karena kedua jagad itu sesunguhnya saling menyambung.
Kepercayaan (iman) kepada Tuhan dengan sendirinya mengandaikan pengamalan spirit tersebut dalam masyarakat, dengan cara berbuat kebaikan (laku utama). Pandangan Jawa ini selaras dengan ajaran Islam dalam memberi makna ibadah. Dalam Islam, ibadah memiliki dua bentuk yang berjalan simultan, yaitu ibadah kepada Tuhan (habluminallah) dan Ibadah kepada manusia (habluminannas). 
Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sikap itu mencerminkan adanya kemampuan dan kemauan Muslim Indonesia untuk menyerap budaya lokal menjadi bagian dari ajaran Islam. Budaya dipandang sebagai bagian yang inheren dengan kehidupan masyarakat, sehingga tidak memungkinkan bagi sebuah gerakan yang membawa nafas rahmatan lil’alamin memberangus sesuatu yang sudah menjadi bagian dari masyarakat
               Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.
              
               Pertemuan antara individu atau komunitas yang satu dengan yang lainakan melahirkan sebuah kontak pemikiran budaya yang di mliliki oleh masing-masing pihak sehingga terjadi proses dialektika pemikiran dan budaya secara kontinu. Respons yang berbeda terhadap kontak dan interaksi yang terjadi sesuai dengan dasar potensi yang ada menimbulkan heteroginitas hasil pemikiran dan budaya yang terbentuk.



[1]           Roqib Muhammad,l Harmoni dalam budaya Jawa,  hlm 80
[2]           Ibid, hlm 80
[3]           Ibid, hlm 83
[4]           Novianto Ardhian, Kuasa Wanita Jawa, hlm 76
[5] Salim Agus, Artikel idul fitri dan budaya lokal jawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar