Minggu, 23 Mei 2010

Epistimologi


A.     Pengertian Epistimologi
Menurut Runes dalam Dictionary of Philosophy, kata epistemologi berasal dari kata episteme di tambah logos, theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemologi sebagai berikut: Epistemologi sebagai cabang fislasat yang meyelidiki tentang keaslian, pengertian, struktur, metoda dan validitas ilmu pengetahuan.[1] Selanjutnya Nasution memberikan arti epistemologi: Episteme berarti pengetahuan dan epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang (a) apa itu pengetahuan, dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetehuan.[2]
Rumusan lain tentang epistemologi dikemukakan oleh Suhono yang menyatakan, bahwa epistemologi adalah teori mengenai hakekat ilmu pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusuia atas kenyataan.
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Istilah epistemologi terkait dengan :
a)      Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b)      Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c)      Sistem,yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

B. Model-Model Epistimologi menurut barat dan islam
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja. Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis. Aliran positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal, kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan. Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri.
Di dalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan, dalam epistemologi Islam setidaknya ada tiga model yang digunakan, yaitu bayani, irfani dan burhani.
1.      Epistemologi Bayani
Epistemologi bayani menitikberatkan pada teks (nash) baik secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah jadi dan langsung diterapkan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu. Secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang masih perlu ditafsirkan dan
dinalar.
Sesuai dasarnya, masalah yang muncul dengan epistemologi bayani adalah pemaknaan teks. Apakah teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya. Maka, pemaknaan teks oleh epistemologi bayani menggunakan dua cara. Pertama, dengan berpegang pada redaksi teks sesuai kaidah bahasa Arab. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa. Meskipun perlu dinalar atau dianalisa, akal tidak bebas menentukan makna karena dasar utamanya tetap berupa teks. Ini berarti sumber pengetahuan utama epistemologi bayani adalah Al-Quran dan hadits.
2.      Epistemologi Irfani
Epistemologi irfani didasarkan pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa
depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla.
Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu. Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif.
3.      Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani didasarkan pada kekuatan rasio, akal, dan dalil-dalil logika, bukannya teks atau intuisi. Rasio akan memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra. Untuk mendapatkan pengetahuan dengan metode burhani, digunakan penarikan kesimpulan dengan aturan silogisme. Silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Mengetahui latar belakang penyusunan premis
2. Adanya alas an logis antara alas an dan kesimpulan
3. Kesimpulan yang diambil bersifat pasti dan benar, tidak menimbulkan kebenaran atau        kepastian lain.
Al Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani haruslah premis yang benar, primer, dan diperlukan. Otoritas referensi epistemologi burhani adalah Al-Quran, hadits, dan pengalaman salaf. Epistemologi bayani mulai berkembang saat kemapanan pemerintahan Islam pada masa pemerintahan Abbasiyah. Masuknya pemikiran filsafat Yunani dan logika Aristoteles ke dalam komunitas Muslim menumbuhkan proses berpikir yang analitik. Hal yang saat itu sangat kurang di dalam epistemology Arab.
Secara umum epistemologi memiliki peran atau kedudukan sentral dalam ilmu pengetahuan yang terkait dengan bagaimana cara (metode) memperoleh pengetahuan serta validitasnya. Dalam khazanah pemikiran Islam, epistemologi Islam memiliki kedudukan bertingkat-tingkat, di dalamnya meliputi: a) perenungan (comtemplation) b) pengindraan (sensation) c) pencerapan (perception) d) penyajian (representation) e) konsep (concept)      f) timbangan (judgement) g) penalaran (reasoning).[3]

C.     Perbedaan Epistimologi Barat Dan Islam
Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektivitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir.
Rumusan tersebut membawa dua konsekuensi penting. Di satu sisi epistemologi Islam (arti luas) membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, sedangkan di sisi lain (ati khusus), epistemologi Islam menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam (Amin, 1983:11)
 perbedaan yang mendasar epistemologi Islam dengan epistemologi Barat terletak pada titik pusatnya. Dalam epistemologi Barat bahwa pengetahuan berpusat pada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya. Sedangkan epistemologi Islam menyatakan bahwa pengetahuan berpusat pada Allah (theocentric), sehinggaa berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia meniscayakan adanya iradah Allah. Allah-lah sebagai sumber pengetahuan dan pusat kebenaran.[4]

D. tahapan di dalam Filosof Epistimologi Barat
Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dibagi dalam tiga babak (periodesasi). Pertama, sebelum 15.00 tahun SM (Sebelum Masehi) dengan ciri utama manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia menemukan cara-cara untuk tetap bertahan dengan cara mempelajari alam. Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya nalarnya yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Corak masyarakat pada saat itu bercirikan budaya hidup nomade (berpindah-pindah). Tujuan hidup nomade ini pun masih tetap didominasi oleh pemenuhan hidup, mencari sumber-sumber energi baru yang dapat menopang dan mempertahankan hidupnya.
Sekitar 15.000 – 600 tahun SM, perioode awal, peradaban manusia telah mulai mengenal membaca, menulis dan berhitung. Menurut Wahyudi, manusia telah berusaha mengirim pesan dalam bentuk patán-pahatan atau goresan-goresan pada batu sekitar 300.000 SM yang belakangan disebut dengan pictogram yang tersimpan di Musium Ontario, Toronto Kanada. Selanjutnya masuk ke periode Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, Niviveh, Tiongkok, Maya, dan Inca. Pada tahun 100 – 44 SM, pada masa kerajaan Roma, dan rajanya dijabat oleh Gajus Julius Caesar telah mengenal dasar-dasar jurnalistik melalui tulisan tangan (Wahyudi, 1991:72). Dalam kurun waktu yang relatif panjang sejarah peradaban telah banyak melahirkan para filosof terkenal seperti Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain. Pada masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan silogismo.
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir Arab-Islam yang membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada abad ini lahir para pemikir seperti Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina atau Avisena, Ibnu Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang pesat sebagai hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan proses sistesa. Abad modern pun ditandai oleh paradigma positivisme yang digagas oleh August Comte melalui Sosiologi Positif. Comte ingin menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan berkembang cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisik.[5]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan tentang ilmu seyogyanya mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana cara ilmu melakukan pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta untuk apa pengetahuan ilmiah yang telah disusun itu dipergunakan. Ketiga hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal dengan istilah ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan axiologi (untuk apa). Dalam operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan ”bantuan” ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.[6]

E. paham-paham dalam epistimologi barat
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan tiga paham:
 Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan penting dalam, mengolah informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan. Rasionalisme ini terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan rasionalisme realis. Rasionalisme idealis berpegang teguh kepada keyakinan bahwa pengetahuan kita dapat melampaui pengalaman panca indera sejati. Sedangkan rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan oleh rasio tidak terlepas dari obyek yang diamatinya. Langeveld: “Rasio mengolah pengalaman sambil meresap ke dalam obyek, sedangkan obyek itu sendiri bukan hasil ciptaan sukma manusia” Melalui rasio, ilmuwan dapat melakukan tiga hal penting yang menjadi basis pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi, dan (3) kausalitas. Definisi melakukan proses pembatasan tentang sesuatu yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi melakukan proses perbandingan antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana yang menjadi ”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”. Bebarapa tokoh penting yang berada dibalik paham rasionalisme ini misalnya, Augustinus, Scotus, Descrates, Spinoza, Leibniz, Fichte, Hegel, dan lain-lain.
Meskipun gegap gempita rasionalisme telah mampu menyedot perhatian ilmuwan seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik atau membantahnya. Bantahan terhadap rasionalisme misalnya: (1) rasionalisme bersifat spekulatif, terlalu mengandalkan olahan rasio dan lalai dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme cenderung a-priori, dalam arti masalah psikologis yang merupakan pembawaan individual (tanggapan-tanggapan pembawaan) akan berbeda pada diri setiap orang.
Kedua, empirisme, yaitu Suatu paham yang berpendapat bahwa pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada pengalaman. Dalam perkembangannya empirisme ini terbagi dua, yaitu empirisme sensualisme dan empirisme konsiensialisme. Empirisme sensualisme yaitu proses perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman pancaindera semata-mata. Sensualisme ini memiliki keterbatasan, bahwa kebenaran pancaindera bersifat semu. Sedangkan empirisme konsiensialisme mengemukakan bahwa Keputusan yang diambil dari pengalaman panca indera berdasarkan pertimbangan penuh kesadaran, dalam arti pertimbangan yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa” dalam [aham empirismo ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di antara bantahan yang tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang dilahirkan apakah hasil pengamatan nyata atau keputusan si pengamat sendiri ? dan (2) Pengamatan hanya menghasilkan kenyataan yang memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi sikap “a priori” sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau mendamaikan kedua kutub paham yang bersebrangan secara diameteral. Paham ini berpendapat bahwa pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh kedua instasnsi, yaitu rasio dan pengalaman inderawi. Rasio dan pengalaman memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh karena itu suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi jalan tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap pengetahuan secara utuh tanpa pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman inderawi saja tidak bisa menghasilkan pengetahuan tanpa diolah secara kreatif oleh rasio (otak).

BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa kutipan di atas nampak dengan jelas, bahwa pada dasarnya epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi: (a) filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, (b) metoda, sebagai metoda bertujuan mengantar manusia untk memperoleh pengetahuan, dan (c) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri.
Di dalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja. Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis.









[1] Runes, Dagobert, D., 1971. Dictionary of Philosophy. Totowa New Jersey: Adam & Co
[2] Nasution, Harun, 1973. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
[3] Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”, Universitas SumateraUtara
[4] Amin, Miska, M., Epistemologi Islam. Yakarta: Universitas Indonesia Press
[5] Wahyudi, J.B., 1991. Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Alumni
[6] Qadir, C.A., (Penyunting), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Yakarta: Yayasan Obor Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar