Senin, 17 Mei 2010

dampak kebijakan fiskal terhadap UMKM


Salah satu kebijakan fiskal yang sangat menggemparkan di awal tahun 2008 adalah dinaikkannya harga BBM dalam negeri sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM di pasaran internasional yang pada awal bulan Mei 2008 telah mencapai US $ 132 per barel secara langsung mempengaruhi beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemertintah. Dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$ 95 per barel saja APBN 2008, dibayang-bayangi oleh devisit anggaran antara 2,5 sampai dengan 4 %. Bedasarkan perkiraan harga minyak dunia 110 US$ per barel, subsidi yang menjadi beban APBN-P 2008, mencapai Rp 260 Triliun. untuk mengamanklan APBN-P 2008 Pemerintah mengurangi subsidi lebih kurang 28,7 %. Pengurangan Subsidi BBM tersebut secara langsung berdampak pada kenaikan rata-rata biaya produksi UMKM.
Kebijakan Penanggulangan Dampak Subsidi BBM
Sebagian besar pengusaha mikro termasuk dalam kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari 1 (satu) US $ per orang per hari, sedangkan jumlah pengusaha mikro menurut BPS (2007) adalah 95 % dari jumlah UMKM, atau pada akhir tahun 2007 diperkirakan mencapai 47.426.562 unit usaha. Dari aspek keuangan keluarga mungkin kelompok ini terbantu dengan adanya berbagai program yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain Prgram Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program beras untuk orang miskin (Raskin), Program asuransi kesehatan untuk keluarga miskin (Askeskin). Program kredit usaha rakyat (KUR) dan Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri).
·         Program Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Program ini adalah ditujukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin yang diperkirakan jumlahnya mencapai 19,1 juta kepala keluarga. Dalam kelompok masyarakat miskin tersebut tentunya ada mereka yang tergolong pengusaha mikro. Program ini memang dapat sedikit membantu kesulitan kelompok miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi dengan melihat jumlah uang yang diberikan relatif sangat kecil (Rp 100.000) perorang per bulan, nampaknya mustahil dana tersebut dapat mengatasi masalah kemiskinian dan atau mengembalikan skala usaha serta pendapatan UMKM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program yang bersifat tanggap darurat atau pemberian ikan untuk rakyat ini tidak dapat membantu mengatasi masalah kesulitan pengembangan usaha dikalangan UMKM.
·         Program Beras untuk orang miskin (Raskin)
Sama seperti program BLT, program beras untuk orang miskin atau program raskin juga merupakan program tanggap darurat yang bersifat pemberian ikan untuk orang miskin dan perannya hanya sebatas mengurangi beban kebutuhan bahan konsumsi untuk mereka. Program ini tidak akan banyak berdampak terhadap kelompok orang miskin yang UMKM terutama pengusaha kecil dan pengusaha menengah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang bertambah banyak sebagai akibat dari kenaikan harga BBM. Demikian juga program ini sulit untuk dapat dikatakan bisa menjadi solusi untuk mempertahankan usaha dari kelompok mikro karena bantuan yang diberikan adalah dalam bentuk subsidi barang konsumsi yang memang mereka butuhkan untuk mempertahankan hidup dan dalam waktu singkat akan habis terpakai.
·         Asuransi kesehatan keluarga Miskin (Askeskin).
Program ketiga ini lebih tidak memungkinkan untuk membantu kelompok miskin yang UMKM dalam menghadapi permasalahan yang timbul sebagai akibat dari kenaikan harga BBM. Program Askeskin hanya diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan atau mereka yang menderita sakit, jadi tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam upaya menghadapi masalah menurunnya kegiatan usaha UMKM.
·         Program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Program ini nampaknya sangat ideal untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi oleh kalangan UMKM, tetapi dengan memperhatikan pelaksanaan program tersebut selama satu tahun pelaksanaannya, berbagai pihak masih merasa pesimis akan keefektifan dari program tersebut. Rasa pesimis dari banyak kalangan cukup beralasan antara lain dengan memperhatikan:
a. Skala Program KUR
Diketahui bahwa skala program KUR relatif masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan modal usaha dari kalangan UMKM. Dapat dikemukakan disini bahwa jumlah UMKM per akhir tahun 2007 sudah mencapai 49 juta unit di mana jumlah pengusaha mikro diperkirakan mencapai 98 % dari jumlah UMKM atau lebih kurang 48 juta unit usaha. Hasil penelitian Deputi Bidang pengkajian sumberdaya UKM dan koperasi tahun 2006 menyimpulkan bahwa per usaha mikro dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp, 3,8 juta sehingga kebutuhan kredit dari kelompok ini saja mencapai Rp 182 triliun. Alokasi penjaminan dari pemerintah sebesar 1,4 triliun dari harapan penyaluran srebesar 10 kali (GR =10 ) maka total dana yang bisa dipinjamkan oleh perbankan baru sebesar Rp 14 triliun atau 7,67 % dari kebutuhan UMKM. Pertanyaannya bagaimana dengan kelompok UMKM yang belum mendapat pinjaman dari program tersebut, sedangkan diketahui bahwa sampai dengan akhir bulan April 2008, jumlah KUR yang disalurkan baru serbesar Rp 6,2 triliun.
b. Prosedur dan persyaratan kredit
1). Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan kredit umum yang resikonya 10 % dijamin oleh pemerintah. Sharing jaminan 10 % dari pemerintah ini nampaknya cukup riskan bagi bank umum, karena Non Performance Loan (NPL) dari kredit-kredit program sebelumnya seperti KUT relatif cukup tinggi. Kondisi dapat menimbulkan berbagai permasalahan baik yang bersumber dari kalangan UMKM maupun Bank pelaksana. Dari kalangan UMKM bukan tidak mungkin muncul para afonturir yang ingin memanfaatkan pinjaman tersebut, sedangkan dari perbankan bukan tidak mungkin Bank akan memperketat persyaratan kredit sehingga mempersulit UMKM dalam meminjam.
2). Pagu kredit relatif tinggi
Pagu kredit yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 500 juta pernasabah relatif sangat tinggi. Memang dalam pelaksanaannya pagu kredit terus diturunkan dan pada akhir bulai April 2008 rata-rata kredit per nasabah mencapai Rp 5,62. Dengan rata-rata pemberian kredit sebesar itu dan penyaluran kredit sebesar Rp 6,2 triliun maka jumlah UMKM yang bisa dilayani oleh program KUR baru sebanyak 11.032 orang. Dengan demikian program KUR baru dapat menjangkau 0.022 % dari jumlah UMKM yang ada di Indonesia . Dengan perkataan ini belum menjadi solusi yang efektif untuk memberdayakan UMKM.
c. Komitmen pelaksana dalam mendukung pemberdayaan UMKM
Dari kedua poin di atas diketahui bahwa program KUR masih banyak me-nyimpan permasalahan dalam upaya pemberdayaan UMKM. Permasalahan tersebut nampaknya hanya dapat terselesaikan dengan baik jika ada komitmen yang sama di antara para pelaksana program. Kesamaan komitmen akan dapat dicapai jika semua unsur yang terlibat berpegang pada satu visi yaitu membangun sistem prekonomian yang berpihak pada rakyat banyak. Visi yang demikian seharusnya dapat dibentuk mengingat sebagian besar unsur pelaksana adalah unsur-unsur yang selama ini banyak terlibat dalam program-program pemberdayaan UMKM seperti bank-bank BUMN.
·         Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri)
Sama seperti program KUR, program PNPM-mandiri lebih mengutamakan pengembangan usaha masyarakat. Program yang dilaksanakan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ini mirip dengan program bantuan perkuatan dalam bentuk pinjaman (perkreditan) yang dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 2008 Program ini akan menyalurkan bantuan pinjaman sebesar Rp 19 triliun. Jumlah pagu pinjaman tersebut memang relatif cukup besar, tetapi yang menjadi kekhawatiran dari banyak pihak adalah bahwa program belum memiliki kelembagaan yang dirancang sesuai dengan tujuan program. Disamping kekhawatiran tersebut dalam banyak aspek program ini masih banyak menimbulkan pertanyaan antara lain: a) Sejauhmana kompetensi Menko Kesra dalam kegiatan perekonomian masyarakat; b) Apakah instansi-instansi yang berada di bidangi oleh Menko Kesra di tingkat daerah memiliki sarana dan SDM yang layak untuk memberikan arahan di bidang ekonomi dan; c) Apakah dana yang dialokasikan dalam bentuk hibah tersebut akan dapat mendorong kelompok sasaran untuk membangun usaha-usaha ekonomi. Semua permasalahan ini nampak masih sukar untuk dijawab karena program tersebut belum dilaksanakan dan Kantor Menko Kesra sendiri belum mengeluarkan indikator keberhasilan dari program tersebut.

kesimpulan
BPS tahun 2007 menginformasikan bahwa untuk pembelian BBM usaha mikro memerlukan dana sebesar Rp 634.250 per bulan atau Rp 7.611.000 per tahun. Dengan demikian kenaikan harga BBM sebesar    28,7 % akan meningkatkan pengeluaran usaha mikro sebesar Rp 103.596.542.690.634 atau Rp 103,596 triliun. Seandainya dana tersebut dapat dikembalikan kepada UMKM melalui program-program perkuatan, maka akan sangat menolong percepatan pemberdayaan UMKM. Dampak dari pengalihan subsidi BBM untuk programprogram perkuatan UMKM juga tidak hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan konsumsi bagi UMKM, karena kegiatan usaha UMKM dan koperasi sebagai kelompok produktif, dapat berdampak luas kepada pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain.
 Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2006 menginformasikan bahwa dengan adanya bantuan perkuatan sebesar Rp 3,794 juta, Omset usaha mikro dan usaha kecil (UMKM) meningkat dari rata-rata Rp 44,429 juta, menjadi Rp 53,489 juta, atau rata rata bertambah sebesar Rp 9,059 juta atau 20,91% per tahun. Laba UMKM meningkat dari rata-rata Rp 10,495 juta, menjadi Rp 13,436 juta per tahun, atau bertambah sebesar Rp 2.941 juta (27,68 %). Dengan jumlah pendapatan sebesar ini, tanpa adanya pendapatan dari sumber lainnya dengan asumsi UMK memiliki tanggungan sebanyak 4 orang, maka dengan standar Bank Dunia (2 dollar per orang per hari) mereka masih tergolong kelompok miskin. Pendapatan minimal standar Bank Dunia bagi keluarga dengan 4 tanggungan lebih kurang 2.880 Dolar AS per tahun atau Rp 25,92 juta. Dari data ini dapat disimulasikan berapa dana yang diperlukan untuk memberdayakan UMK dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan adalah sebesar Rp 182 triliun. Dengan memperhatikan keperluan dana untuk memberdayakan UMKM tersebut di atas dan jumlah subsidi yang dapat dihemat setelah kenaikan harga BBM 28,7 % atau sebesar           Rp 74,62 triliun, maka bukan tidak mungkin pemerintah seharusnya dapat mempeluas program bantuan perkuatan sampai mencapai 20 % dari jumlah UMKM. Untuk mampu memberdayakan 20 % dari jumlah UMKM tersebut, berdasarkan hasil temuan Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK hanya diperlukan dana sebesar Rp 45,5 triliun atau dengan 4 kali perguliran, semua UMKM dapat merasakan bantuan pinjaman dari pemerintah. Kalkulasi di atas memang masih berupa perhitungan di atas kertas, namun optimisme keberhasilan program perkuatan nampaknya masih cukup besar, sekiranya program tersebut dilaksanakan dengan melibatkan koperasi yang nota bene koperasi tersebar di seluruh wilayah RI dan sudah berpengalaman dalam mendukung program-program pembangunan UKM sejak dari masa orde baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar